Rabu, 29 Maret 2017

GANGGUAN REPRODUKSI PADA SAPI : MUMIFIKASI


Sapi adalah salah satu komoditas unggul di beberapa negara termasuk Indonesia. Banyak orang memelihara sapi sebagai hewan ternak yaitu untuk diambil susunya dan diambil dagingnya sebagai makanan sehari-hari. Selain menjadi hewan ternak, sapi juga sangat bermanfaat bagi manusia karena dapat dijadikan sebagai hewan pekerja. Secara umum penyakit hewan adalah segala sesuatu yang menyebabkan hewan menjadi tidak sehat, termasuk masalah ataupun gangguan reproduksi.Beberapa kasus gangguan  reproduksi yang sering terjadi pada sapi betina diantaranya adalah maserasi, mumifikasi, hipofungsi, kista ovari, brucellosis, retensi plasenta, dan lain-lain. Tulisan ini akan membahas salah satu topik gangguan reproduski, yaitu mumifikasi.
            Mumifikasi merupakan kejadian kematian fetus dalam uterus tanpa disertai pencemaran mikroorganisme, disertai dengan penyerapan cairan fetus oleh dinding uterus setelah terjadi proses autolisis sehingga tubuh fetus menjadi kering dan keras, serta diikuti dengan proses involusi   uteri   yang   normal, sering terjadi  pada   umur   kebuntingan   5-7   bulan   (Jainudeen dan Hafez 2000). Mumifikasi merupakan kondisi dimana terdapat jaringan mati/mengerut, seperti gangren yang kering, atau kematian fetus yang dipertahankan (Dorlan 2007). Mumifikasi fetus  merupakan kondisi yang tidak biasa terjadi pada kondisi normal dan  kejadian mumifikasi ini tidak lebih dari 2 %. Menurut Arthur et al. (1996), insidensi mumifikasi fetus pada sapi berkisar antara 0.13% hingga 1.8%. Mumifikasi fetus pernah dilaporkan pada beberapa spesies, diantaranya adalah kambing, domba, kuda, babi, anjing dan kucing. Namun kejadian mumifikasi terbesar terjadi pada sapi (Lefebvre et al. 2009). Mumifikasi fetus sapi dapat dianggap sebagai kecelakaan gestational dan dapat terjadi secara sporadis baik sapi lokal maupun ternak eksotis dan persilangannya (Jana dan Ghosh 2014).
               Penyebab mumifikasi dapat berasal dari agen infeksius maupun non infeksius. Mumifikasi
akibat infeksi agen infeksius dapat bearsal dari agen menular seperti Campylobacter, jamur,leptos priosis dan virus BVD-MD yang menyebabkan kematian fetus tanpa aborsi dan memungkinkan
kejadian mumifikasi pada sapi (Drost 2007). Sedangkan mumifikasi yang terjadi bukankarena agen infeksius bisa diakibatkan oleh faktor mekanik, diantaranya adalah kompresi dan atau torsio umbilical cord  (Mahajan dan Sharma 2002), torsio uterus (Moore dan Richardson 1995),cacat plasenta (Irons 1999), anomali genetik (Stevens dan King 1968),serta  ketidaknormalan hormone dan kromosom (Roberts 1986).
            Terdapat dua tipe mumifikasi, yaitu tipe hematik dan tipe papyraceous. Mumifikasi tipe hematik terjadi dengan hadirnya mekanisme pendarahan dengan derajat tertentu pada endometrium dan membran fetalis. Mumfikiasi tipe hematik pada sapi dapat terjadi pada semua umur dan dapat terjadi pada satu fetus maupun dua fetus (pada kebuntingan yang sama). Mumifikasi tipe hematik dapat terjadi setelah kematian fetus pada usia 3 sampai 8 bulan kebuntingan. Hal ini terjadi karena tidak ada sinyal untuk parus fetus karena korpus luteum tetap dipertahankan. Sehingga masa  kebuntingan akan diperpanjang. Kondisi seperti ini bisa didiagnosa ketika sapi mengalami masa kebuntingan yang berkepanjangan (Arthur et al. 1996). Sedanglan tipe mumifikasi papyraceous biasa digunakan untuk menggambarkan mumi fetus yang masih tertahan bersamaan dengan fetus lain yang masih hidup (Dahiya dan Bains 2014). Secara umum mumifikasi tipe papyraceous  ditandai dengan adanya kelahiran fetus dengan keadaan mati kering terbungkus oleh selubung fetus yang mengkilat.

Mumifikasi tipe hematik dan papyraceous dapat dilihat pada Gambar 1a dan 1b.
 Gambar 1a. Papyraceous fetus sapi (Usharani et al. 2015)
                         Gambar 1b. Mumifikasi fetus tipe hematik pada sapi ( Katiyar et al. 2015)

Mumifikasifetus merupakan kasus gangguan reproduksi yang tidak mudah untuk diketahui secara langsung. Gangguan ini memerlukan pemeriksaan untuk mengonfirmasinya.Beberapa pemeriksaan yang bisa diaplikasikan pada kasus gangguan reproduksi adalah palpasi perectal (Jainudeen dan Hafez 2000), transrectal ultrasonografi (USG) (Yilmaz et al. 2011) , x-ray (Dahiya dan Bains 2014). Berikut adalah hasil pemeriksaan x-ray dan USG pada mumifikasi fetus (Gambar 2a dan 2b).et al. 2011) , x-ray (Dahiya dan Bains 2014). Berikut adalah hasil pemeriksaan x-ray dan USG pada mumifikasifetus (Gambar 2a dan 2b).
Gambar 2a. Radiografi papyraceous fetus (Dahiya dan Bains 2014) 



 Gambar 2b.
Ultrasonografi dari fragmen tulang
dari mumifikasi fetus sapi
FH usia 5 tahun (Yilmaz et al. 2011)

Salah satu penanganan kasus mumifikasi  adalah dengan melakukan ekspulsi fetus,   dibantu   dengan   injeksi   estrogen,   oksitosin   dan   prostaglandin   secara   intramuskular. Setelah serviks membuka ditambahkan cairan obstetrical lubricant sebanyak 10-20 liter secara intra uterine lalu dilakukan penarikan secara manual. Menurut Kumaresan et al. (2013) pemberian estradiol dosis rendah kombinasi dengan prostaglandin merupakan terapi yang efektif untuk kejadian mumifikasi pada fetus dan tidak mengganggu kesuburan sapi pada masa kedepannya. Selain itu, modifikasi pemberian prostaglandin F2α dan histerotomi juga dapat diaplikasikan pada kasus ini (Lefebvre et al. 2009). Berikut adalah alur penanganan kasus mumifikasi yang diadopsi dari Lefebvre et al. (2009): 
      Tindakan medis dan tindakan bedah merupakan pendekatan yang baik untuk menangani kasus mumifikasi pada hewan yang mempunyai rasio kebuntingan normal (Lefebvre et al. 2009).Pada sapi yang mempunyai sejarah mengalami mumifikasi fetus, pemeriksaan histologi diperlukan untuk mengetahui keutuhan epitel dan kelenjar uterus serta tidak adanya tanda inflamasi (Frazer 2009). Karena tidak adanya penyebab khusus yang terkait dengan mumifikasi janin, penting untuk menjaga kondisi sanitasi yang baik dan program vaksinasi. Sebuah program monitoring reproduksi yang ketat juga penting untuk dilaksanakan (Lefebvre 2015).



Daftar Pustaka


Jana D dan Ghosh M. 2014. Foetal mummification owing to severe thermal burn in an              indigenous cow. Explor Anim Med Res. 4(1): 121-123.
Katiyar R, Sacchan SSD, Manzoor M, Rautela R, Pandey N, Prasad S, Gupta HP. 2015.          Haematic foetal mummification in Sahiwal cow: case report. Journal of Livestock         Science.          6: 44-46.
Lefebvre RC, Saint-Hilaire E, Morin I, Couto GB, Francoz D, Babkine M. 2009. Retrospective                    case study of fetal mummification in cows that did not respond to prostaglandin F2α                             Treatment. The Canadian Veterinary Jurnal. 50: 71-76.
Mahajan M dan Sharma A. 2002. Haematic mummification due to umbilical cord torsion in a    cow:           A case report. Ind vet J. 79:1186-1187.
Moore AA dan Richardson GF. 1995. Uterine torsion and fetal mummification in a cow. Can   J Vet.             36:705-706.
Roberts SJ. 1986. Veterinary Obstetric and Genital Diseases 3rd ed. Vermont, Woodstock. Hlm           213-217.
Stevens RW dan King GJ. 1968. Genetic evidence for a lethal mutation in Holstein-Friesian      cattle.           J Hered. 59: 366-368.
Usharani N, Joshi SD, Veena D. 2015. Fetus papyraceous: A rare report and review of                                    literature. International Journal of Scientific Study. 3(4): 184-187.    
Yilmaz O, Celik HA, Yazici E, Ucar M. 2011. Twin mummified foetuses in a Holstein Friesian            cow: a case report. Veterinarni Medicina. 56(11): 573-576.
Frazer GS.2009. Obstetrics Part 1. Pregnancy complications in the cows. Poster presented at:                          Proceedings of the North American Veterinary Conference; January 17–21; Orlando,FL.


Arthur GH, Noakes DE, Person H, Parkinson TJ. 1996. Sequelae to embryonic or foetal death.             In:Veterinary Reproduction and Obstetrics. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders.    pp.127-128.
Dahiya P dan Bains R. 2014. Conservative management of fetus papyraceous: A report two                             cases. Oman Medical Journal. 29(2): 132-134.
Dorlan WAN.2007. Dorland’s Medical Dictionary for Health Consumers. Philadelphia: WB                            Saunders.
Drost M. 2007. Complications during gestation in the cow. Theriogenol. 8: 487-491.
Irons PC. 1999. Hysterotomy by a colpotomy approach for treatment of foetal mummification      in a             cow.  J S Afr Vet Assoc. 70: 127-129.
Jainudeen MR dan Hafez ESE.  2000.  Reproduction Failure in Females.  Di dalam: Hafez                             ESE, editor.  Reproduction in Farm Animal 7th Edition.  South Carolina: Reproduction Health            Center.
Kumaresan A, Chand S, Suresh S. 2013. Effect of estradiol and cloprostenol combination                              therapy on expulsion of mummified fetus and subsequent fertility in four crossbred                               cows.Veterinary Research Forum. 4(2): 85-89.
Lefebvre RC. 2015. Fetal mummification in the major domestic species: current perspectives        on              causes and management. Veterinary Medicine: Research and Reports:6:233-244.

Selasa, 28 Maret 2017

IPB Kembali Unjuk Gigi di "Indonesian World Open Traditional Sports Exhibition"

        Pesta olahraga rekreasi dunia atau TAFISA Games yang ke-enam tahun 2016 dilaksanakan di Jakarta, Indonesia. TAFISA Games tersebut telah dilaksanakan dari tanggal 6 hingga 12 Oktober yang lalu. Sebanyak 87 negara dan 29 provinsi bertanding dalam ajang yang dikenal sebagai olimpiade olahraga rekreasi dan tradisional dari seluruh dunia ini.TAFISA menjadi momentum berkumpulnya masyarakat olahraga dunia untuk melihat bahwa fondasi olahraga benar-benar dipupuk dari olahraga tradisional dan olahraga rekreasi.

           IPB sebagai salah satu Perguruan Tinggi di Indonesia yang telah mengawali jejak partisipasinya dalam kejuaraan Olahraga Tradisional antar Perguruan Tinggi kembali mengirim kontingennya untuk mengikuti pesta olahraga rekreasi dunia ini. Sederet pemain lama pada kejuaraan sebelumnya kembali mengisi daftar nama peserta TAFISA Games ke-6 yaitu Puput Werdhiwati, Pipit Werdhiwati, Lia Nuryanah, Yudi Munandar, dan M Zuhdi. Katagori olahraga yang diikuti oleh kontingen IPB adalah Hadang Putra dan Putri, Dagongan Putra dan Putri, serta Egrang Putra. 


Team IPB dalam TAFISA Games 2016

           Kostum kontingen IPB berwarna hijau yang melambangkan identitas Pertaniannya menjadi sorotan seluruh peserta olahraga tradisional. Kekompakan tim dan sportivitas yang tinggi telah menjadikan kontingen IPB menjadi point of view dalam arena pertandingan. Bekal latihan yang bisa dibilang "cukup" menjadi salah satu kepercayaan diri kontingen IPB dalam melangsungkan pertandingannya. Semua pertandingan berjalan dengan mulus dan lancar serta tetap menjunjung sportivitas yang tinggi. 

 Dagongan Putri
 Egrang Putra



Hadang

        Pada Pesta olahraga rekreasi dunia 2016, IPB kembali membawa 3 medali perak pada katagori Hadang  Putra dan Putri, serta Dagongan Putri. Sedangkan katagori Dagongan Putra harus puas dengan 3rd runner up. Hasil ini merupakan buah hasil dari kerja keras tim dalam mempersiapkan pertandingan di sela-sela kesibukan akademiknya. Lega sudah....... usaha tidak menghianati hasil !!! SELAMAT, khususnya kepada teman-teman yang sudah berjuang dan IPB yang telah memfasilitasi kegiatan ini. 

Depok, 29 Maret 2017
(Dokter Hewan Muda super sibuk yang sedang praktik di RPH Tapos Kota Depok)
Tulisan ini saya dedikasikan kepada teman-teman kontingenku agar pengalaman ini tidak hilang termakan usia